
Pecah kongsi kepala daerah selalu terjadi diberbagai daerah. Bahkan, kondisi ini sendiri ‘acap’ terjadi usai sang kepala daerah dan wakilnya memimpin.
Hal ini pun membuat pemerintahan daerah tidak berjalan dengan semestinya, lantaran adanya hubungan yang tidak baik antara kepala daerah dengan wakilnya.
Menurut Pengamat Politik Universitas Andalas, Edi Indrizal, jika kondisi seperti ini memang sering terjadi dalam sistem demokrasi, apalagi pemilihan secara langsung.
Edi mencontohkan, pada tahun 2014, kala itu Menteri Dalam Negeri yang dijabat Gamawan Fauzi mengakui jika banyak kepala daerah dan wakilnya yang pecah kongsi saat menjabat. “Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 95 persen, kata Gamawan waktu itu,” kata Edi di Padang, Sabtu (9/9/2017).
Lanjut Edi, berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI pada taun 2014, ada 971 dari 1.026 atau 94,64 persen hasil Pilkada 2005-2013 terjadi pecah kongsi. “Berdasarkan kajian itu didapatkan, jika hanya 55 pasangan kepala daerah yang tetap harmonis hingga akhir masa jabatannya,” sebut Edi.
Soal kapan pecahnya kongsi kedua pemimpin tersebut, faktanya, ada sejak masa kampanye hingga ada yang hanya tiga bulan harmonis. “Waktu bermacam-macam, ada juga setahun, ada yang dua tahun, dan lain-lain,” terang Edi.
Lantas, apakah faktor penyebab dari kondisi pecah kongsi ini ? Dikatakan Edi, ada dua kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kemendagri yang menggambarkan berbagai penyebab terjadi kondisi tersebut.
Pertama, berdasarkan kajian LIPI didapatkan setidaknya ada lima faktor yang bisa menyebabkan pecah kongsi. Pertama, koalisi yang dibangun hanya atas dasar memperkuat dukungan politik atau sebatas memenangkan Pilkada, melainkan bukan atas dasar memperkuat stabilitas pemerintahan daerah.
Kedua, koalisi yang dibangun dari dua Partai Politik maupun etnik yang berbeda atau lebih, gabungan dua basis pemilih mayoritas yang berakibat sedikit saja terjadi gesekan akan mudah terpicunya konflik.
Ketiga, celah aturan perundangan menjadi peluang saling serobot kewenangan. Keempat, kepala daerah cenderung terlalu dominan dalam pengambilan keputusan, sedangkan wakil kepala daerah kurang sadar diri dengan posisinya. “Ibarat berebut kue, penemapata pejabat, mutasi dan banyak lainnya,” jelas Edi.
Kelima, sangat kuat ‘image’ (gambaran) bahwa dengan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah saran popularitas, batu loncatan untuk jabatan kekuasaan berikutnya.
Sedangkan dari kajian Kemendagri didapatkan adu setidaknya dua faktor penyebab yang sering terjadinya pecah kongsi.
Pertama, kepala daerah minim memberi kesempatan maupun kewenangan kepada wakilnya, disisi lain wakil kepala daerah menuntut lebih dari ketentuan Undang-undang. “Sama-sama tidak proporsional dalam menjalankan amanat Undang-undang,” kata Edi.
Kemudian, faktor kedua, kepala daerah dan wakil kepada daerah sama-sama berupaya mendapatkan simpati masyarakat dan mirisnya cenderung untuk demi citra (popularitas) untuk melenggangkan kekuasaan, bukan demi cinta rakyat.
“Makanya yang banyak terjadi justru rivalitas. Rivalitas hingga saling berhadapan di Pilkada berikutnya,” ujar Edi.