KPI : Kekurangan SDM Ciptakan Progam Tayangan Anak, Indonesia Masih Impor Animasi

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis memberikan motivasi dan arahan kepada generasi muda agar selektif memilih siaran yang berkualitas, di Hotel Mercure, Kamis (25/10/2018).

 

PADANG, KABARSUMBAR – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis mengatakan saat ini Indonesia masih kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menciptakan program tayangan atau konten siaran ramah anak. Hal itu terbukti dari siaran animasi yang masih impor.

“Jangan kaget animasi kita impor, seperti Upin Ipin, Shiva, Doraemon dan lainnya. Kemudian siaran tersebut di dubbing menjadi bahasa Indonesia agar anak-anak dapat mengerti dan bisa memahami tayangan tersebut,” ujar dia di Padang, Kamis (25/10/2018).

Yuliandre menyebutkan bahwa KPI memiliki perhatian lebih untuk memastikan seluruh konten siaran ramah terhadap penonton berusia anak-anak. Menurutnya, selama satu dekade belakangan konten berkualitas untuk anak-anak mulai marak.

“Kalau dulu Si Unyil saja, sekarang sudah banyak. Orisinalitas Indonesia ini yang kami dorong. Hal itu tentu ada peran dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),” jelasnya.

Selain itu kata dia, KPI mendukung penuh stasiun televisi yang berupaya memproduksi konten ramah anak dan mendorong tayangan yang mengandung konten budaya. Ia berharap dengan adanya peningkatan literasi media, generasi muda memiliki kepekaan lebih tinggi dalam memilih konten siaran.

Dikatakannya, tanggungjawab yang dipikul KPI sangatlah besar dan tak hanya terbatas dengan persoalan teknis saja. Menciptakan tatanan penyiaran yang ciamik disertai perbaikan kualitas konten yang sesuai harapan adalah diantara tanggungjawab besar tersebut.

Bentuk antisipasi dari ketergantungan terhadap produk konten asing yang diakuinya memang lebih baik dari segi kualitas dibanding konten dalam negeri. “Kita harus membangun jati diri melalui konten-konten lokal yang berkualitas dengan lebih dahulu membangun SDM yang bermutu dan penuh kreatifitas,” katanya.

Ia juga menceritakan bagaimana konten luar negeri mulai menguasai layar kaca televisi di tanah air. Kondisi ini tak lepas dari rendahnya mutu program lokal seperti sinetron yang makin diperparah ongkos produksi yang selangit. “Biaya pembuatan satu episode sinteron kita bisa mencapai angka 400 jutaan. Sedangkan harga satu episode acara sinetron luar tidak lebih dari 100 juta. Dari segi bisnis saja sudah jelas pilihan mana yang lebih menguntungkan,” ungkapnya.

Hal yang paling dikhawatirkan Andre adalah pada saat alih teknologi dari analog ke digital. Jika mutu konten dalam negeri tidak ada peningkatan, hasilnya slot kanal yang disediakan untuk siaran akan dikuasai konten-konten luar yang dari mutu dan harga menang banyak dari kita. “Jangan sampai nanti pada saat alih teknologi, konten asing lebih dominan ketimbang konten lokal kita. Kita harus bersama-sama mengembangkan konten lokal kita,” tuturnya penuh harapan.

Andre optimis harapannya dapat tercapai disebabkan pemilik-pemilik lembaga penyiaran khususnya televisi merupakan orang-orang negarawan. Mereka tentunya memiliki pemikiran yang sama dengan KPI yaitu menciptakan konten siaran yang baik, sehat, penuh manfaat dan aman bagi semuanya.

Banyaknya pro dan kontra terhadap kebijakan lembaganya sebutnya, bukan hal yang mengherankan. Betapa tidak, KPI harus mengawasi 16 induk jaringan TV, 25 lembaga penyiaran berlangganan (TV kabel), dan 15 jaringan radio dalam waktu bersamaan setiap harinya.

(Putri Caprita)

Baca Kabarsumbar.com lebih update via Google News, Klik Disini atau Join Telegram Disini.