Padang – Identik dengan berbagai tradisi adat yang sangat kental menjadikan Minangkabau menjadi salah satu kebudayaan yang cukup populer di masyarakat Indonesia. Seperti tradisi tari piriang, rumah bagonjong, samba randang serta ilmu bela diri silat. Namun salah satu tradisi ‘Bagurau Saluang dan Dendang’ yang juga berasal dari tanah Minangkabau menjadi tradisi yang belum banyak diketahui oleh generasi muda di Minangkabau.
Tradisi Bagurau Saluang dan Dendang Berisi Nasehat
Bagurau saluang dan dendang adalah tradisi yang sudah ada sejak lama di Minangkabau dan mengalami perkembangan serta perubahan yang cukup menarik seiring waktunya. Pertunjukan lewat alat musik saluang serta diiringi pantun memperlihatkan bagaimana tradisi ini merefleksikan budaya lisan masyarakat minang yang sangat hobi menyiarkan nasehat melalui pantun sebagai interaksi sosial yang menopang kehidupan masyarakat.
Istilah bagurau yang dipakai dalam tradisi ini diambil dari gaya masyarakat minang yang hobi bercerita dengan melemparkan sindiran dan cemoohan namun dengan dialogis yang akrab sehingga mempererat solidaritas di tengah masyarakat. Selain itu, bagurau disini juga dianggap sebagai dialog yang dilakukan dengan bahasa kiasan, penuh ibarat da pepatah-petitih. Dari konsep masyarakat yang seperti itulah menjadikan tradisi ini sebagai refleksi masyarakat yang penuh keakraban dengan konsep kekeluargaan yang kuat.
Menggunakan Alat Musik Saluang
Alat musik yang dimainkan dalam tradisi ini disebut dengan saluang, yang merupakan alat musik tradisional Minangkabau yang terbuat dari bambu dengan ukuran panjang dan bervariasi serta menyerupai seruling. Bagi masyarakat minang sendiri saluang dijadikan alat musik dendang untuk menghibur masyarakat dengan alunan khasnya.
Tradisi bagurau saluang dan dendang mulai populer di tahun 1960-an. Saat itu hanya para pemuda yang sering memainkan saluang dan bergurau di suatu tempat, kepiawaian serta daya tarik yang diciptakan pemuda menjadi tontonan masyarakat luas, bahkan dijadikan sebagai pertunjukan seni yang bisa memperbaiki sistem perekonomian masyarakat pada saat itu.
Budaya matrilineal yang dianut oleh masyarakat minang dulunya sempat menghambat pergerakan kaum perempuan sebagai aktor dalam sebuah pertunjukan kesenian di Minangkabau, budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi Agama Islam menempatkan perempuan di posisi yang dilematis. Paham normatif yang mengatakan bahwa perempuan harus tahu ‘raso jo pareso’ yang mengisyaratkan bahwa perempuan adalah sumber aurat yang semestinya tidak menampakkan diri keruang publik.
Meskipun demikian pemikiran itu lantas dituntaskan oleh adanya tradisi ‘Bagurau Saluang dan Dendang’ yang mengangkat kaum perempuan sebagai andil utama tradisi ini. Munculnya pendendang perempuan mematahkan konsep tabu di masyarakat, ikut sertanya perempuan dalam kegiatan berseni memberikan pengaruh besar di kebudayaan minang kabau yang pada dasarnya sangat menjunjung ajaran agama islam.
Namun, semakin berkembangnya zaman konsep kebudayaan yang terlalu kaku mengubah tatanan sosial di masyarakat, ini juga ditandai dengan munculnya para aktor seni dari kaum wanita di masyarakat, masyarakat menganggap bahwa perempuan berhak mengikuti segala dari tatanan adat yang berlaku demi membentuk kehidupan sosial yang adil dan tidak mengekang.