GAZA, KABARSUMBAR – Di sepanjang perbatasan, ribuan warga Palestina berkumpul setiap hari Jumat untuk memperjuangkan haknya untuk merdeka. Dimulai sejak Maret 2018, harapan untuk bisa kembali ke tanah air terus diteriakkan lantang dalam aksi unjuk rasa Great March of Return.
Lalu, aksi memuncak pada 15 Mei 2018, penduduk Palestina di Gaza menyebutnya sebagai Nakba yang berarti bencana. Menurut beberapa media massa, kata Nakba rupanya merujuk pada hari pemindahan paksa 750.000 warga Palestina dari rumah mereka yang terjadi pada 1948 silam.
Lebih dari tujuh puluh tahun terusir dari rumah dan lebih dari dua belas tahun terkungkung blokade, ribuan warga Palestina tak pernah menyerah dalam menyuarakan kebebasannya. Bahkan, Otoritas Nasional Gaza sampai meminta setiap penduduk Gaza untuk turut hadir dalam aksi protes Great March of Return.
“Kami tidak akan pernah kompromi untuk kebebasan kami,” begitu pernyataan dari Otoritas Nasional gaza yang ditulis Yeni Safak pada Sabtu (9/2).
Namun, semangat pejuang Great March of Return belum mendapat iktikad baik dari Israel. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, hingga aksi unjuk rasa berulang ke-46, korban meninggal dari pihak Palestina sudah ada lebih dari 250 jiwa, sementara ribuan lainnya mengalami luka ringan bahkan serius.
Merangkum rilis Aljazeera tentang laporan terkini Great March of Return, aksi unjuk rasa itu kian berlangsung memanas setiap pekannya. Tak jarang protes dengan cara melempar batu yang dilakukan penduduk Palestina di perbatasan Gaza justru dibalas dengan tembakan bahkan serangan udara.
Masih ingat tentang seorang relawan medis di Palestina yang bernama Razan al-Najjar? Razan juga meninggal akibat luka tembak di dada yang dilakukan Israel saat aksi protes Great March Return di Timur Khan Younis, Gaza Selatan pada 1 Juni 2018.
Seorang saksi mengatakan, Razan ditembak ketika berlari ke arah pagar yang dibentengi untuk membantu korban, menurut laporan yang ditulis Al Jazeera. “Dia yang mengenakan seragam putih mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan cara yang jelas, tetapi tentara Israel menembak dan memukul dadanya,” kata sang saksi yang tak disebutkan namanya.
Aksi unjuk rasa juga menyebabkan banyak penduduk Palestina mengalami luka-luka. Kemenkes Palestina di Gaza menyebutkan, pada beberapa momen aksi protes ada ratusan orang yang mendapat tindak represif tentara Israel. Misalnya, pada Jumat ke-15, setidaknya hampir 400 orang terluka, termasuk anak-anak yang turut menjadi target.
Sayangnya, sistem kesehatan di Gaza juga sedang memburuk. Beberapa rumah sakit di Gaza kini dikabarkan mengalami kekurangan bahan bakar. Lantas bagaimana mereka yang terluka bisa mendapat penanganan, sementara fasilitas medis sedang di masa kolapsnya?
Pekan keempat Januari 2019 kemarin, Direktur Kerjasama Internasional Kementerian Kesehatan Palestina Dr. Ashraf Abu Mhadi menyebutkan, sejak aksi unjuk rasa Great March of Return dimulai, setengah dari jumlah 26.000 korban cedera tidak bisa mendapat penanganan medis.
“Kondisi ini juga terjadi akibat semuah rumah sakit di Gaza telah kehabisan ruang dan kasur untuk perawatan,” kata Dr. Ashraf seperti dilansir dari ACTNews pada Senin (21/1).
Turut Hadir di Tengah Aksi
Sepanjang perjalanan aksi protes Great March of Return, dukungan Indonesia untuk warga Palestina di Gaza pun tak pernah surut. Andi Noor Faradiba dari Global Humanity Response (GHR) Aksi Cepat Tanggap mengatakan, ada beberapa program yang telah diberikan khusus untuk para pejuang yang turun aksi setiap Jumat itu.
“Alhamdulillah, kami telah merampungkan beberapa program untuk mereka antara lain menyediakan layanan medis, mendistribusikan air bersih dari Humanity Water Tank ACT, dan membagikan ribuan porsi makanan siap santap dari Dapur Umum Indonesia di Gaza,” papar Faradiba.
(Putri Caprita)