KABARSUMBAR – Perjuangan seorang perantau tak selalu berujung manis. Dalam sunyi dan bisu, ada kisah yang hanya bisa diceritakan lewat gerakan. Rantau Berbisik, tarian yang lahir dari pengalaman pribadi Ery Mefri, seorang koreografer yang hidupkan kembali memori pahit dan manis seorang perantau.
Tari ini dimainkan oleh Rio, Angga, Ririn, dan 2 penari lainnya. Sejak pertama kali dipentaskan, karya ini terus memukau dunia.
Pertunjukan dimulai dalam keheningan. Muncul seorang lelaki dengan tatapan tajam, namun seakan tak tahu arah. Ia duduk di tepi meja, diam, sementara pikirannya berkecamuk, bertarung melawan dirinya sendiri.
Pasrah, bosan, atau takut akan masa depan? Entahlah. Dentuman meja dan gerakan tangan menjadi pengisi kekosongan dan kesepiannya. Bayangkan saja – diam, tanpa tujuan, hanya bisa memainkan meja dan tangannya.
Tiba-tiba, seorang pelayan warung makan datang melayaninya. Apakah ia mulai berkhayal? Pura-pura menjadi tamu kaya raya yang dihormati? Mungkin itu hanya imajinasi penulis.
Ia hampir saja menghempaskan meja, namun urung dilakukan. Sadar bahwa dirinya belum menjadi orang besar dan kaya? Mungkin.
Bingung, tegar, rindu kampung halaman, itulah pesan yang terasa. Gerakan tangan yang memukul celana gelembungnya menjadi isyarat bahwa ia ingin bangkit dari kesedihan dan kebingungannya. Tangan terbentang, kepala melihat ke atas, seakan berserah diri. Ia memukul badan, memikul beban, berpindah meja, seolah ingin keluar dari keterpurukan.
Namun, sesuatu yang menyayat hati terjadi. Muncul seorang perempuan yang menjelma seperti sosok ibu. Apakah ia ingin menyampaikan pesan kepada lelaki itu agar berhenti bekerja?
Perseteruan tergambar dalam gerakan tari – berlarian, menghempas, menolak, menarik – menciptakan satu kisah yang terbesit di kepala saya. Saya melihat gambaran seorang ibu yang meminta anaknya berhenti bekerja dengan alasan tertentu.
Pancaran peran perempuan sebagai sosok ibu terasa begitu kuat.
Itu versi saya sebagai penulis! Sudah terbayang? Lebih lanjut, mari kita tanyakan pada kuratornya.
Diangkat dari Pengalaman Pribadi Koreografer
Ery Mefri menjelaskan tarian ini didasarkan pada pengalaman pribadinya pada1970-an. Saat SD, ia pernah tidak naik kelas, sehingga memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
Namun, hanya dalam waktu empat bulan, Ery Mefri kecil yang masih di bawah umur merasa tak kuat menanggung beratnya hidup di perantauan. Meski begitu, keinginannya untuk menjadi orang besar saat pulang ke kampung tetap menyala. Setelah mencoba bertahan, akhirnya ia pasrah hingga dijemput oleh ibunya dan pulang ke tanah Minang.
Rantau Berbisik menceritakan kehidupan di lapau nasi padang di Jakarta. Tarian ini menggambarkan kebahagiaan yang bercampur dengan kesedihan, kepiluan, beratnya kehidupan, hingga kerinduan akan kampung halaman.
Tidak banyak bicara dalam tarian ini (hanya berbisik) seperti perantau yang menyimpan banyak cerita dalam diam.
Ery Mefri juga mengungkapkan bahwa kecintaannya pada tari turun dari sang ayah.
“Tradisi ini turun dari bapak yang juga seorang penari. Pengaruh Randai juga sangat dominan. Makanya, gerakan tari yang saya ciptakan seperti ini. Banyak yang bilang ini tradisi, ada yang menyebut kontemporer. Saya hanya membuat apa adanya,” ujar pria asli Saniang Baka itu.
Ery Mefri dikenal sangat detail dalam menciptakan karyanya, baik dari segi gerakan, properti, hingga warna kostum.
“Hampir setiap karya saya berwarna merah. Kenapa merah? Karena saya suka marah,” katanya sambil tertawa.
Namun, merah juga menjadi simbol pemberontakan terhadap apa yang ia lihat di sekelilingnya.
Rantau Berbisik Tampil Perdana pada 2009
Setelah bertahun-tahun sejak kejadian masa kecilnya, pengalaman merantau itu akhirnya dituangkan dalam bentuk tarian Rantau Berbisik pada tahun 2009. Inspirasi ini muncul setelah ia menciptakan karya Sarikaik, yang membawanya kembali merantau ke Australia pada tahun 2007.
“Saya kembali merantau ke Australia sekitar 2007. Selain itu, saya juga sudah lama ingin menyatukan bapak dan ibu yang telah bercerai. Dari sinilah saya akhirnya tergugah untuk menciptakan Rantau Berbisik,” tambahnya.
Namun, sayangnya, ada penyesalan yang menyelimuti hati Ery Mefri menjelang kelahiran Rantau Berbisik.
“Tarian ini hadir pada 2009, tetapi impian saya untuk menyatukan ibu dan bapak kandas. Bapak meninggal tepat saat saya hendak berangkat ke Australia,” ucapnya dengan air mata berlinang.
“Rantau Berbisik” pertama kali ditampilkan di Indonesia Performing Art Mart (IPAM) tahun 2009.
Pengakuan Dunia terhadap Rantau Berbisik
Angga Mefri, istri sekaligus direktur festival di Nan Jombang Dance Company, menggambarkan suasana tribun saat “Rantau Berbisik” ditampilkan.
Bayangkan saja, ada momen di mana penonton memberikan standing applause selama lima menit. “Yang menonton ini bukan hanya TKW, TKI, atau duta besar, tetapi semua penikmat seni,” ujar Angga, pada Rabu,19 Februari 2025.
Selain itu, Angga merasa bangga bisa tampil di panggung dunia.”Saya bangga telah tampil di panggung dunia, di pentas Type A,” lanjutnya.
Namun, tampil di panggung dunia bukanlah hal yang mudah. Butuh latihan ekstra dan keseriusan selama waktu yang lama.
“Latihan itu berlangsung selama satu tahun, setiap hari enam jam. Hasilnya? Dunia telah mengakui karya Ery Mefri,” tambahnya.
Tradisi atau Kontemporer?
Frans Hartono, seorang jurnalis senior yang lama berkecimpung di dunia kebudayaan, turut memberikan pandangannya terhadap karya Ery Mefri.
“Saya sudah lama mengenal Uda Ery Mefri. Banyak yang mengapresiasi, tetapi ada juga yang tidak. Karena ini tampil di luar negeri, saya melihat Uda Ery ingin memperkenalkan tradisi Minangkabau kepada dunia, seperti tari Piring dan Randai,” katanya.
Dengan segala perjuangan dan pengorbanannya, Rantau Berbisik bukan hanya sekadar tarian, melainkan kisah nyata yang merangkum getirnya perantauan, pahit-manis kehidupan, dan kecintaan terhadap tanah kelahiran. Sebuah bisikan dari rantau yang akhirnya menggema di panggung dunia.