Mengingat Kembali Peran Koto Tinggi di Masa Pemerintahan Darurat RI

Limapuluh Kota – Selain keindahan alam dan budaya yang lestari, Nagari Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota ternyata menyimpan sejarah yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa.

Nagari ini pernah menjadi salah satu dari delapan tempat di Sumatera Barat yang jadi ibu kota Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Struktur geografis Koto Tinggi yang strategis diyakini mempengaruhi keputusan pemimpin kala itu dalam mengambil kebijakan mengenai ibu kota negara. Alasan tidak dijumpainya kantor pemerintahan di daerah ini, sebab kala itu tokoh-tokoh bergerak secara mobile, sehingga dimana berada, disitulah menjadi kantor.

“PDRI itu embrionya dari Bukittinggi, lahir di Halaban dan besarnya bergerilya termasuk di Koto Tinggi,” ujar Metrial, tokoh masyarakat setempat.

Menurut keterangan Metrial yang juga juru kunci PDRI, setelah terbentuk, Tan Malaka memberi saran, sebaiknya pemerintahan PDRI dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatera Utara. Karena itu sebagian pemimpin, pengungsi dan tak ketinggalan radio berpindah menuju Koto Tinggi.

Dari Koto Tinggi, banyak siaran radio mengudara menginformasikan keberadaan Indonesia. Hal tersebut membuat Belanda gerah dan melakukan penyerangan ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949 yang mengakibatkan gugurnya 9 (sembilan) pejuang Indonesia.

Atas dedikasi PDRI, pemerintah membangun Monumen Bela Negara yang terletak di Jorong Sungai Siriah sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara. Monumen tersebut berasal dari dana APBN yang melibatkan (enam) kementrian.

Hingga saat ini, monumen telah siap 90 persen, dan masih terus melaksanakan pembangunan sesuai dengan kucuran dana dari kementerian. Hanya akses jalan masih belum cukup memadai menuju kesana.

Metrial juga menjelaskan perbedaan antara PDRI dengan PRRI agar masyarakat khususnya generasi muda tidak rancu.

“PDRI dan PRRI dua hal berbeda. Baik konteks maupun waktu. PDRI periode 1948-1949, sedangkan PRRI di tahun 1949-1950. PDRI merupakan penyelamat negara, sementara PRRI bentuk ketidakpuasaan atas pemerintah pusat. Semoga sejarah tidak diputarbalikan. Kasihan anak cucu nantinya, jika kejadian masa lalu dipelintir dari aslinya,” pungkas Metrial.

Baca Kabarsumbar.com lebih update via Google News, Klik Disini atau Join Telegram Disini.