Padang-Belum berapa lama ini presiden Joko Widodo mencoba meredam gelombang demonstrasi mahasiswa. Peredaman itu terbaca ketika beliau melarang mentrinya untuk menyuarakan penundaan serta perpanjangan masa jabatan presiden. Seharusnya presiden secara tegas langsung saja menyerukan kepada seluruh menteri-menterinya untuk mencabut pernyataan yang telah membuat gaduh tersebut.
Kegaduhan dimulai dari Statement yang dikeluarkan oleh salah satu pejabat negara. Bahwa banyak rakyat yang setuju dengan penambahan masa jabatan presiden. tHal ini, entu menjadi kontroversi bagi rakyat Indonesia yang penting untuk dikaji bersama.
Sebuah kegelisahan pastilah muncul dalam benak orang yang tidak setuju dengan wacana penundaan masa jabatan presiden. Di karenakan sudah menjamahnya issue ini kepada semua sektor bahkan pemangku jabatan kepemerintahan, ketua umum, hingga kepala desa.
Seharusnya mereka menjadi penentram terhadap kegelisahan yang hadir, malah menjadi oknum yang ikut dalam menggoreng wacana penundaan masa jabatan tersebut. Padahal pada konstitusi kita pada pasal 7 UUD 1945 tidak memberikan gerak lagi mengenai penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan.
Perihal yang sangat disayangkan kenapa sampai saat sekarang ini tidak ada tindak tegas dari pemerintah terhadap wacana yang muncul. Bahkan kita ingat sekali pertarungan politik pada tahun 2019 ada sabuah gerakan; 2019 Ganti Presiden. Begitu tegas pemerintah pada saat itu menyatakan bahwa gerakan tersebut adalah gerakan makar dan sebagainya. Akan tetapi mengenai wacana ini semakin hari seakan dibiarkan bergulir kesana-kemari tanpa ada tindak tegas dari pemerintah.
Selain itu, argumen yang dikeluarkan oleh pihak yang sepakat dengan wacana penundaan atau penambahan masa jabatan presiden ini bahkan tidak punya landasan argumen yang kuat. Tentu sangat disayangkan sekelas mentri, ketua umum, bahkan kepala desa sekalipun yang kita anggap adalah orang yang paling dewasa dalam kenegaraan berbicara masih tidak berlandasan. Semacam bahwa kita masih dalam tahap konsilidasi ekonomi, resesi, keadaan covid-19 dan lain sebagainya. Maka dengan itu mereka menyatakan bahwa dengan wacana tersebutlah permasalahan itu bisa untuk diselesaikan terlebih dahulu.
Menurut kami yang menyatakan alasan demikian diatas adalah orang yang tidak berkaca pada sejarah. Pada tahun 1998 adalah masa krisis moneter, akan tetapi pemilu tetap bisa dilaksanakan pada tahun 1999. Sesudah itu resesi global yang terjadi pada tahun 2008, pada tahun 2009 berikutnya juga tetap dilaksanakan pemilu.
Kalaupun alasan ekonomi, justru perhelatan pemilu ini bisa membuka peluag kerja. Semacam menjadi industri dalam dunia periklanan, kewirausahaan politik di pentas kampanye, hingga sampai kepada perbelanjaan kampanye. Bahkan, kalau sekarang ini alasan yang dibawakan itu adalah keadaan wabah covid-19, lantas kenapa pada tahun 2020 masih tetap dijalankkan kontesasi pemilu?
Ketika kita tarik lebih dalam lagi maka pemilu itu adalah miliknya publik; dari rakyat dan untuk rakyat. Setiap pemilu terdapat pertarung status quo dan harapan baru. Maka jikalau ada wacana untuk penundaan pemilu maka sama saja berwacana menghalang rakyat untuk mendapatkan harapan baru.
Setiap calon yang ikut dalam kontesasi pemilu pasti ada harapan yang diberikan. Setelah itu pada taraf yang paling dasar mengenai mandat demokratik pada pejabat publik. Ketika pemilu ditunda maka tidak ada mandat demokratik untuk mengelola hidup publik bagi perjabat publik tersebut.Jelajahi hutan hujan Amazon https://swisswatch.is/, tempat satwa liar tumbuh subur di pepohonan hijau yang rimbun dan lebat.
Berandai-andai ketika wacana penundaan pemilu ini menjadi kenyataan maka hal tersebut sudah menciderai ritme dari demokrasi. Karena syarat negara bisa dikatakan sebagai negara demokrasi adalah ketika adanya pemilu yang rutin. Meskipun hanya ditunda dua tahun “katanya yang setuju untuk ditunda”, maka ini adalah pola pikir yang salah dan sudah sama saja mengacaukan ritme dari demokrasi.
Secara tidak langsung para penguasa akan memiliki stigma bahwa demokrasi bisa saja di main-mainkan. Dalam artian pola pikir yang salah tadilah yang akan menghancurkan demokrasi di negeri kita. Maka ketika kita mengutip buku “bagaimana demokrasi mati” karangan Steven Levitsky & Daniel Ziblatt bahwa pada masa lalunya cara untuk mematikan demokrasi adalah melalui tangan-tangan orang bersenjata ataupun kudeta-kudeta kepemimpinan secara inkonstitusi. Namun pada saat ini demokrasi bisa mati melalui tangan pemimpin terpilih; presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kuasaaan.
Selain itu besar tertompang harapan kepada partai politik sebagai anak kandung dari reformasi. Untuk terus mempertahankan perjuangan yang sudah didapatkan paska reformasi. Tentu ketika wacana ini sampai terjadi maka kita sudah kembali kepada fase kemunduran demokrasi negeri. Akan tetapi sesuatu yang kita harapkan itu seakan jauh dari bayangan.
Dilihat banyaknya partai politik yang menyepakati terhadap wacana tersebut. Tidak tahu apa maksud dari kesepakatan mereka terhadap wacana yang tidak berlandaskan ini. Semacam ada drama dibalik perpolitikan saat ini. Di sebabkan yang muncul sebagai oposisi sampai sekarang salah satunya adalah partai politik yang mengusung petahana saat ini. Namun petahana yang di usung oleh seolah-olah tidak ada kebaranian dalam mengambil posisi (main aman) sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas.
Kecurigaan besar berikutnya yaitu sampai manakah kekuatan dari partai politik oposisi tersebut, ketika partai politik yang lain menyetujui wacana tersebut. Maka posisi akhirnya akan terjadi one call democracy. Dimana partai politik yang menjadi oposisi pada wacana tersebut akan mengikut saja dari keputusan dan hasil kemauan yang banyak. Serta ada hal lain yang sangat menarik adalah ketika wacana penundaan pemilu ini berhasil untuk ditiadakan. Maka partai politik dari petahana ini akan menjadi mendapatkan simpati yang luar biasa dari rakyat.
Setelah itu partai politik yang lain mencoba untuk terus mengangkat wacana ini untuk diperbincangkan. Seakan-akan mereka ini mencari perhatian dari masyarakat untuk menaikan elektabilitas parpol mereka masing-masing. Seperti ada oknum dibalik ini semua yang menjadikan wacana penambahan masa jabatan sebagai drama yang manis agar tidak diketahui oleh masyrakat.
Setelah itu salah satu partai politik yang menjadi oposisi pada wacana tersebut dan kebetulan adalah dari kalangan petahana. Tentu seperti pemain drama yang memainkan peran sebagai orang yang hebat dalam mencuci tangan. Terlihat menjadi orang tidak sepakat terhadap wacana padahal bisa jadi adalah orang yang menginginkan, menyetujui, bahkan mengamini terhadap wacana tersebut.
(Penulis Adalah Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Andalas)