Jakarta – Jumat malam (3/3), Depo Bahan Bakar Minyak (BBM) Plumpang di Jakarta Utara terbakar. Namun, besarnya api bisa dipadamkan pada Sabtu (4/3) dini hari.
Meski demikian, korban jiwa yang berasal dari wilayah di sekitar Depo BBM tidak bisa terelakkan. Keberadaan Depo BBM memang memiliki risiko.
Pada 2011, American Institute of Chemical Engineers menganalisa 50 kasus kebakaran tangki penyimpanan yang terjadi selama periode 1959-2009 di Tiongkok. Hasilnya, lebih dari 64 persen kebakaran terjadi di pabrik petrokimia, kilang minyak, dan depot minyak.
Penyebab kecelakaan dalam kegiatan operasi yang paling banyak adalah karena pemeliharaan atau perbaikan (34 persen atau 17 kasus). Sementara kasus yang terjadi pada saat bongkar muat sebanyak 14 kasus atau 28 persen.
Dalam panduan Safety Guidelines and Good Industry Practices for Oil Terminals yang dirilis United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), terminal minyak –yang di dalamnya termasuk bensin, bahan bakar diesel, Avtur, dan lainnya– menyimpan zat berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman serius bagi manusia dan lingkungan.
Kecelakaan di terminal minyak dapat mengakibatkan tumpahan minyak, kebakaran dan ledakan yang berpotensi menyebabkan hilangnya nyawa manusia dan bencana lingkungan. Oleh karenanya, keberadaan terminal minyak diatur dengan detail.
Sementara dalam dokumen yang dirilis Bank Dunia berjudul Environmental, Health, and Safety Guidelines for Crude Oil and Petroleum Product Terminals, diungkapkan ada empat isu utama terkait keberadaan terminal yang menyimpan minyak mentah dan produk turunan minyak bumi. Keempatnya adalah emisi udara, air limbah, minyak dan material berbahaya, serta limbah.
Dalam dokumen tersebut juga disebutkan tiga bahaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan. Antara lain bahaya bahan-bahan kimia, kebakaran dan ledakan, serta bahaya di ruang terbatas (confined spaces).
Terkait risiko kebakaran dan ledakan, salah satu poin yang diatur adalah fasilitas penyimpanan harus dirancang, dibangun, dan dioperasikan sesuai dengan standar internasional. Termasuk, ketentuan mengenai jarak antara fasilitas dengan bangunan yang berdekatan.
Adapun terkait dengan peristiwa Depo BBM Plumpang, sebenarnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengatur jarak aman minimum untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan. Merujuk Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM No 309.K/30/DJB/2018, jarak minimum dari pagar pengaman ke jalan umum untuk Depo BBM Plumpang adalah 52,5 meter.
Namun, diketahui jika jarak antara Depo BBM Plumpang dengan pemukiman masyarakat yang hangus terbakar hanya 28 meter. Kurangnya zona aman atau buffer zone dinilai menjadi penyebab banyaknya korban jiwa.
Oleh karena itu, diperlukan buffer zone di sekitar depo BBM agar segala risiko yang dapat terjadi tidak langsung berdampak ke masyarakat. Menurut Pengamat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Juwari, keberadaan buffer zone sangat diperlukan karena depo BBM sangat berbahaya mulai dari bahaya ringan hingga yang berisiko tinggi.
Mengutip dari Antara, Juwari menerangkan bahaya ringan bersumber dari kebocoran BBM dalam jumlah kecil yang kemudian menyebar. Lalu, bahaya kecil itu bisa menjadi risiko sedang dan besar jika kebocoran cukup banyak dan menyebar ke wilayah yang cukup luas.
“Intinya buffer zone sangat diperlukan. Karena potensi bahaya (di depo dan kilang) pasti ada, mulai dari bahaya ringan hingga bahaya yang tinggi risikonya. Dan jika terjadi ledakan, diharapkan efek ledakan hanya sampai buffer zone, tidak sampai ke penduduk,” katanya.
Pasca insiden di Terminal BBM (TBBM) Plumpang, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan pentingnya keberadaan buffer zone pada fasilitas strategis perusahaan demi menjamin keselamatan warga.
Hal tersebut disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (16/03). Nicke menyampaikan, TBBM Plumpang merupakan salah satu objek vital nasional yang menjadi tulang punggung ketahanan pasokan BBM di sejumlah wilayah.
Oleh karenanya, fasilitas ini tidak serta merta bisa ditutup karena akan berpengaruh pada ketahanan nasional. Maka dari itu, keberadaan buffer zone menjadi sebuah keharusan, mengingat fasilitas operasi Pertamina tetap memiliki potensi bahaya.
“Dengan adanya buffer zone maka akan membantu menjaga keselamatan masyarakat yang berada di sekitar wilayah TBBM Plumpang,” jelas Nicke. Upaya Pertamina tersebut mendapatkan dukungan dari Komisi VII DPR RI. Dalam kesimpulan RDP hari ini Komisi VII meminta Pertamina mengimplementasikan buffer zone secara tegas dan konsekuen dalam rangka menjaga keselamatan kerja dan warga sekitar.