Ragam  

Sansai, Sebuah Novel yang Lahir dari Status Sosmed

Ermanto (kanan) memberikan novel Sansai pada Rektor UNP Ganefri, pada 22 Juni lalu di Rektorat UNP.
Ermanto (kanan) memberikan novel Sansai pada Rektor UNP Ganefri, pada 22 Juni lalu di Rektorat UNP.
Ermanto (kanan) memberikan novel Sansai pada Rektor UNP Ganefri, pada 22 Juni lalu di Rektorat UNP.
Ermanto (kanan) memberikan novel Sansai pada Rektor UNP Ganefri, pada 22 Juni lalu di Rektorat UNP.

PADANG, KABARSUMBAR – Berbagai pola dan cara yang dilakukan pengarang dalam menghasilkan karya sastra. Salah satunya dengan mengawali dari status sosial media (Sosmed). Itulah yang dilakukan Ermanto sehingga melahirkan novel Sansai.

”Secara resmi, novel yang berlatar cerita budaya Minangkabau yang ditulis oleh orang Minangkabau ini belum diluncurkan. Namun sudah diedarkan sejak Juni,” kata Ermanto yang juga Wakil Dekan 1 Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNP ini.

Profesor dibidang linguistik ini menceritakan sejak zaman Balai Pustaka hingga tahun sembilan puluhan cukup banyak karya sastra berupa novel yang berlatar cerita budaya Minangkabau yang dihasilkan oleh pengarang Minangkabau. Olek karena itu, dirinya merasa perlu menyemarakkan kembali penulisan dan penerbitan karya sastra terutama novel yang dihasilkan oleh pengarang Minangkabau.

”Mudah-mudahan penerbitan novel Sansai ini dapat memotivasi pengarang Minangkabau untuk menghasilkan karya sastra terutama novel,” kata pria kelahiran Painan, 12 Februari 1969 itu.

Novel ini menceritakan kehidupan orang kampung yang terpinggirkan oleh permasalahan adat dan terpinggirkan oleh masalah ekonomi. Merantau adalah salah satu jalan yang harus dipilih untuk meningkatkan harkat dan mertabat keluarga itu. Lika-liku kehidupan perantauan dapat diatasi asal memiliki kejujuran dan kegigihan.

Lebih lanjut disampaikan Ermanto, novel ini tidaklah memuat pengalaman pribadi pengarang dalam artian dialami oleh pengarang. Namun novel ini memuat persoalan sosial yang pernah terjadi dan diamati oleh pengarang atau mungkin akan terjadi di dalam lingkungan kehidupan masyarakat Minangkabau secara khusus atau mungkin saja di dalam masyarakat luar Minangkabau secara umum.

”Singkatnya, persoalan kehidupan di dalam novel ini adalah hasil amatan pengarang terhadap kehidupan orang-orang kecil, masyarakat miskin atau masyarakat pinggiran di Minangkabau yang tentu saja telah terjadi atau akan terjadi di tengah kehidupan modern saat ini,” kata Ermanto yang sebelumnya telah menerbitkan novel pertama berjudul Tujuh Cinta Si Anak Kampung yang diterbitkan oleh FBS UNP Press.

Untuk penulisan, dia menceritakan novel ini ditulis dengan proses yang unik. Awalnya dirinya menulis secara bersambung penggalan cerita dalam status media sosial (medsos) hampir setiap hari. Jadi, novel ini ditulis kurang lebih selama dua bulan. Akhirnya keseluruhan isi novel dari semua status dalam medsos itulah yang diterbitkan dalam bentuk buku novel.

”Secara umum tidak ada kendala dalam penulisan novel ini, karena pengarang menulis secara tertib hampir setiap hari. Kurang lebih tiga sampai empat halaman selama dua bulan. Waktu penulisan pada umumnya dilakukan pagi hari atau pada malam hari atau pada siang hari pada waktu senggang di antara kesibukan menjalani tugas dosen dan tugas sebagai wakil dekan.

Jadi, kalau kita bisa tertib menulis novel secara berkesinambungan maka selama dua bulan ternyata bisa menghasilkan sebuah novel walaupun kita mempunyai tugas tertentu,” ujar pria yang telah menerbitkan 15 judul buku ini.

Dia berharap terutama pada mahasiswa dapat menulis karya sastra termasuk novel dan diterbitkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sastra Indonesia dari tanah Minangkabau. Selain itu, permasalahan kehidupan dalam novel ini dapat diteliti untuk skripsi, tesis, atau disertasi.

”Beberapa hari lalu, sudah ada mahasiswa Program Doktor dari Jawa Timur yang memesan novel ini untuk dijadikan objek penelitian disertasinya,” kata pria yang suka menulis puisi ini.

Khusus untuk mahasiswanya, dia berharap dengan terbitnya novel ini dapat dijadikan motivasi oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia agar mau menghasilkan karya sastra dan mau menerbitkannya.

Dia menyebutkan saat ini, juga tengah digarap film Sansai yang diadaptasi dari novel Sansai yang dikerjakan oleh tim kreator film dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNP. Dia berharap dapat segera selesai di tengah musibah yang dihadapi tim, yakni salah seorang aktor tokoh Roni Caniago meninggal dunia padahal film tersebut baru selesai sekitar 60 persen.

Di sisi lain, Ermanto tengah berencana menerbitkan novel berlatar budaya Minangkabau yang bersentuhan dengan budaya Jawa dengan kondisi waktu pada masa kini. Proses penulisan novel tersebut sama dengan proses penulisan novel Sansai yakni ditulis secara bersambung hampir setiap hari dalam status medos. ”Kini sudah selesai sekitar 30 persen,” ujar dosen yang dikenal dekat dengan mahasiswanya.

(Rel/Hijrah Adi Sukrial)

Baca Kabarsumbar.com lebih update via Google News, Klik Disini atau Join Telegram Disini.